Kamis, 15 Maret 2012

Assholach_sistem pendidikan ala pesantren



 pendidikan aLa Pesantren

Pesantren atau pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional tertua di Indonesia. Pesantren adalah lembaga yang bisa dikatakan merupakan wujud proses wajar perkembangan sistem pendidikan nasional. Karena, sebelum datangnya Islam ke Indonesia pun lembaga serupa pesantren ini sudah ada di Indonesia dan Islam tinggal meneruskan, melestarikan dan mengislamkannya. Jadi pesantren merupakan hasil penyerapan akulturasi kebudayaan Hindu-Budha dan kebudayaan Islam kemudian menjelma menjadi suatu lembaga yang kita kenal sebagai pesantren sekarang ini.
Akar-akar historis keberadaan pesantren di Indonesia dapat di lacak jauh ke belakang, yaitu pada masa-masa awal datangnya Islam di bumi Nusantara ini dan tidak diragukan lagi pesantren intens terlibat dalam proses islamisasi tersebut. Sementara proses islamisasi itu, pesantren dengan canggihnya telah melakukan akomodasi dan transformasi sosio-kultural terhadap pola kehidupan masyarakat setempat. Oleh karena itu, dalam prespektif historis, lahirnya pesantren bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan akan pentingnya pendidikan, tetapi juga untuk penyiaran agama Islam. Menurut M. Dawam Raharjo, hal itu menjadi identitas pesantren pada awal pertumbuhannya, yaitu sebagai pusat penyebaran agama Islam, disamping sebagai sebuah lembaga pendidikan[1].
Pesantren merupakan sistem pendidikan tertua khas Indonesia. Ia mdrupakan sumber inspirasi yang tidak pernah kering bagi para pencita ilmu dan peneliti yang berupaya mengurai anatominya dari berbagai demensi. Dari kawahnya, sebagai obyek studi telah lahir doktor-doktor dari berbagai disiplin ilmu, mulai dari antropologi, sosiologi, pendidikan, politik, agama dan lain sebagainya. Sehingga kita melihat pesantren sebagai sistem pendidikan Islam di negeri ini yang kontribusinya tidak kecil bagi pembangunan manusia seutuhnya.
Sistem pendidikan di pesantren mengadopsi nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Keadaan ini menurut Abdurrahman Wahid disebut dengan istilah subkultur. Ada tiga elemen yang mampu membentuk pesantren sebagai subkultur : 1) pola kepemimpinan pesantern yang mandiri, tidak terkooptasi oleh negara. 2) kitab-kitab rujukan umum yang selalu digunakan dari berbagai abad. 3) sistem nilai yang digunakan adalah bagian dari masyarakat luas.[2] Tiga elemen ini menjadi ciri yang menonjol dalam perkembangan pendidikan di pesantren. Pesantren baru mengkin bermunculan dengan tidak menghilangkan tiga elemen itu, kendati juga membawa elemen-elemen lainnya yang merupakan satu kesatuan dalam sistem pendidikannya.
Secara esensial, sistem pendidikan pesantern yang dianggap khas ternyata  bukan sesuatu yang baru jika dibandingkan sistem pendidikan sebelumnya. I.P. Simanjutak   menegaskan bahwa masuknya Islam tidak mengubah hakikat pengajaran agama yang formil. Perubahan yang terjadi sejak pengembangan Islam hanyalah menyangkut isi agama yang dipelajari, bahasa yang menjadi wahana bagi pelajaran agama itu, dan latar belakang para santri.[3] Dengan demikian, sistem pendidikan yang dikembangkan pesantren dalam banyak hal merupakan hasil adaptasi dari poal-pola pendidikan yang telah ada dikalangan masyarakat Hindu-Budha sebelumnya. Jika ini benar, ada relevansinya dengan statement bahwa pesantren mendapat pengaruh dari tradisi lokal.
Model pendidikan agama jawa yang diadaptasi itu disebut pariwayatan, berbentuk asrama dengan rumah guru yang disebut Kiajar ditengah-tengahnya. Sistem pendidikan ini diambil dengan mengganti nilai ajarannya menjadi nilai ajaran Islam.[4] Pengambilan model meniru dan mengganti ini juga terjadi dalam sistem pewayangan.
Proses adaptasi sistem pendidikan itulah yang menguatkan penilaian selama ini bahwa pendidikan pesantren  disebut sisten pendidikan produk Indonesia. Nurcholish Madjid menyebut dengan istilah indegenous (pendidikan asli Indonesia).[5] Sistem pendidikan asli Indonesia ini pernah menganut dan memiliki daya tawar yang tinggi sebagai antitesis terhadap sistem pendidikan Belanda. Karel A. Streenbrink mengungkapkan bahwa pada 1930-an, sistem pesantren yang sering disebut sistem pendidikan asli indonesia dapat menyaingi pendidikan Barat yang materialis dan bertujuan mempersiapkan tenaga untuk fungsi-fungsi tertentu dalam masyarakat dan untuk mencari uang.[6]
Selanjutnya pesantern adalah sistem pendidikan yang melakukan kegiatan sepanjang hari. Santri tinggal di asrama dalam satu kawasan bersama guru, kiai dan senior mereka. Oleh karena itu, hubungan yang terjalin antara santri-guru-kiai dalam proses pendidikan berjalan intensif, tidak sekedar hubungan formal ustadz-santri di dalam kelas. Dengan demikian kegiatan pendidikan berlangsung sepanjang hari, dari pagi hingga malam hari.[7]
Sistem pendidikan ini membawa keuntungan, antara lain : pengasuh mampu melakukan pemantauan secara leluasa hampir setiap saat terdapat perilaku santri baik yang terkait dengan upaya pengembangan intelektualnya maupun kepribadiannya. Keuntungan kedua adalah adanya proses pembelajaran dengan frekuensi yang tinggi dapat memperkokoh pengetahuan yang diterimanya. Dalam teori pendidikan diakui bahwa belajar satu jam yang dilakukan lima kali lebih baik daripada belajar selama lima jam yang dilakukan sekali , padahal rentangan waktunya sama. Keuntungan ketiga adalah adanya proses pembiasaan akibat interaksinya setiap saat baik sesama santri, santri denga ustadz maupun santri dengan kiai. Keuntungan lainnya adalah adanya integrasi antara proses pembelajaran dengan kehidupan keseharian. Mastuhu menilai bahwa sistem pendidikan pesantren menggunakan pendekatan holistik.[8] Para pengasuh memandang kegiatan belajar mengajar merupakan kesatupaduan atau lebur dalam totalitas kegiatan kehidupan sehari-hari. Akibatnya muncul sikap saling menjaga komitmen dan konsistensi terutama dari pihak pengasuh baik kiai maupun ustadz.  Apa yang dianjurkan oleh kiai maupun ustadz harus terlebih dahulu terefleksi dalam kehidupan keseharian mereka.
Dalam sistem pendidikan ini fungsi keteladanan menjadi sangat dominan. Apalagi ketika dikaitkan dengan doktrin agama. Nabi Muhammad saw menjadi teladan bagi umat manusia, sementara itu para kiai adalah pewaris para Nabi (al-ulama warasat al-anbiya). Maka kronologinya adalah para kiai menjadi teladan bagi umat islam, terlabih lagi di pesantren kiai menjadi teladan bagi santri-santrinya.
Sistem pendidikan pesantren memang menunjukkan sifat dan bentuk yang lain dari pola pendidikan nasional.[9] Maka pesantren menghadapi dilema unuk mengintregasikan sistem pendidikan yang dimiliki dengan sistem pendidikan nasional. Ditinjau dari awal mula sejarah berdirinya pesantren memang tidak dimaksudkan untuk meleburkan dalam sistem pendidikan nasional. Bahkan ketika menghadapi penjajah Belanda, pesantren memiliki strategi isolasi dan konservasi. Akibatnya seperti dituturkan Muhammad Nuh Sholeh, berbagai citra negatif diarahkan pada pesantren. Pesantren seringkali dinilai sebagai sistem pendidikan yang isolasionis terpisah dari aliran utama pendidikan nasional, dan konservatif yakni kurang peka terhadap tuntutan perubahan zaman dan masyarakat.[10] Fungsi yang kedua ini (konservatif) terlihat pada upayanya menjaga ajaran Islam.
Sistem pendidikan pesantren juga sangat bergantung pada selera kiainya. Keahlian dan pengalaman kiai tentu saja turut mewarnai sistem pendidikan pesantren yang diasuhnya. Tidak sedikit spesialisasi pengkajian di pesantren disesuaikan dengan spesialisasi keilmuan yang dimiliki kiainya. Pilihan ini masih dalam batas kewajaran atau keniscayaan, yang menarik justru sikap independen kiai dalam menetukan corak sistem pendidikan pesantrennya.
Oleh karena itu, sistem pendidikan pesantren masih belum memiliki kesamaan dasar di luar penggunaan buku-buku wajib (kutub al-muqarrarah). Keragaman ini timbul karena ketidaksamaan dalam sistem pendidikannya. Ada pesantren yang menyelenggarakan pengajian tanpa madrasah/sekolah, ada pesantren yang hanya menggunakan sisitem pendidikan madrasah secara klasikal, dan ada pula pesantren yang menggabungkan sistem pengajian dan sistem madrasah secara non klasikal. Pada sistem madrasah non klasikal ini, materi pelajaran diberikan secara berurutan dari kitab-kitab lama yang sudah umum dipakai dalam pengajian. Maka tidak mungkin ada penyatuan kurikulum pesantren selama masih ada perbedaan – perbedaaan cukup besar dalam sistem pendidikan yang dianut.[11]
Kuatnya independensi tersebut menyebabkan pesantren memiliki kebebasan relative yang tidak harus mengikuti model baku yang ditetapkan pemerintah dalam bidang pendidikan. Pesantren bebas mengembangkan model pendidikannya tanpa harus mengikuti standarisasi dan kurikulum yang ketat.[12] Pesantren selalu memberikan kebebasan dalam menentukan pola kebijakan pendidikannya. Maka pesantren menggunakan prinsip kebebasan terpimpin dalam menjalakan kebijaksanaan pendidikannya.
Kebebasan terpimpin di sini adalah kebebasan dalam memilih, memutuskan dan menjalankan kebijakan pendidikan sesuai dengan kehendak kiainya. Terhadap kebijakan pemerintah, sistem pendidikan pesantren menempuh sikap sebebas-bebasnya, namun dikalangan intern pesantren sendiri, yang memiliki kebebasan adalah kiainya. Para ustadz tidak berkenan menetukan kebijakan pendidikan pesantren, terlebih para santri.
Lantaran tingkat pluralitas yang tinggi, independensi yang kuat kondisi – kondisi yang berjalan alamiah menyebabkan adanya kesulitan memberikan rumusan, definisi, dan konseptualisasi secara pasti tentang pesantren. Memang ada pengamatan, hasil penelitian dan analisis, tetapi tetap saja tidak bisa mewakili pluralitas dan otonomi – intelektual masing – masing pesantren.[13] Rata – rata kesulitan yang dihadapi peneliti ketika mengadakan penelitian tentang pesantren adalah menyangkut keragaman atau variasi pesantren tersebut karena tidak bisa digeneralisasi, sehingga penjelasan yang bisa diberikan lebih mencerminkan kasusu per kasus.
Sisi negatif lain yang terdapat pada sistem pendidikan pesantren adalah kesemrawutan organisasi. M.M. Billah melaporkan bahwa hubungan antar pesantren secara menyeluruh hampir tidak ada standarisasi, baik tentang silabus, kurikulum dan bahkan literaturnya maupun sistem penerimaan, promosi, gradasi santri, dan tartan ilmu yang diterima oleh santri.[14] Hampir semua proses pembelajarannya tidak melalui perencanaan yang matang dan standart – standart yang ketat.
Sehingga, di dalam pesantren tradisional tidak dikenal sistem kelas. Kemampuan siswa tidak dilihat kelas berapanya, tetapi dilihat dari kitab apa yang dibacanya. Orang – orang pesantren telah dapat mendudukan derajat ilmu seorang santri atas dasar kitab yang dibacanya.[15] Misalnya, seorang santri telah ikut mengkaji kitab Ihya’ Ulum al-Din maka ia dianggap memilki kemampuan yang cukup tinggi karena peserta pengkajian kitab tersebut dari kalangan santri senior, yang tentu terbatas sekali.
Perbedaan lainnya anatara pesantren dengan pendidikan formal adalah kesuksesan belajar santri. Jika ada santri yang belajar di pesantren hingga 27 tahun, maka penilaian orang berarti dia memilki kemampuan yang tinggi. Sebaliknya di perguruan tinggi, kalau ada seorang mahasiswa yang menyelesaikan program S-1 dalam waktu 3 tahun berarti hebat. Jika sampai membutuhkan waktu 10 tahun untuk S-1 berarti mengalami kelambanan serius.
Pada bagian lain “secara tradisional sistem pendidikan yang diterapkan di pesantren memilahkan secara tegas aspek pengembangan intelektual dan aspek kepribadian”.[16] Sistem pendidikan pesantren lebih mengutamakan pembinaan kepribadian daripada pengembangan intelektual, sehingga daya kritis, tradisi kritik, semangat meneliti, dam kepedulian menawarkan sebuah konsep keilmuan tidak muncul di pesantren.
Eksistensi Pesantren ternyata sampai hari ini, ditengah-tengah deru modernisasi, pesantren tetap bisa bertahan  (survive) dengan identitasnya sendiri. Bahkan akhir-akhir ini para pengamat dan praktisi pendidikan dikejutkan dengan tumbuh dan berkembangnya lembaga-lembaga pedidikan pondok pesantren di tanah air ini. Pertumbuhan pesantren yang semula rural based institution menjadi juga lembaga pendidikan urban, bermunculan juga di kota-kota besar. Di samping banyak juga pendidikan umum yang mengadopsi aspek-aspek tertentu dari sistem pendidikan pesantren. Mengadopsi sistem asrama dengan menyebutnya “boarding school”. Sistem “boarding” tentu saja merupakan salah satu karakteristik dasar sistem pendidikan pesantren
Satu hal lagi yang perlu kita catat bahwa tidak sedikit pemimpin-pemimpin bangsa ini, baik pemimpin yang duduk dalam pemerintahan maupun yang bukan, formal atau informal, besar maupun kecil, dilahirkan oleh pondok pesantren..
Proses Pembalajaran di Pesantren
Sebagaimana halnya kurikulum, proses pembelajaran madrasah atau sekolah yang di selenggarakan oleh pondok pesantren juga menggunakan metode pembelajaran yang sama dengan metode pembelajaran di madrasah atau sekolah lain, di luar pondok pesantren. Metode pembelajaran yang di gunakan di lembaga pendidikan formal lain yang di selenggarakan oleh pondok pesantren, selain madrasah dan sekolah, pada umumnya mengikuti metode yang berkembang di madrasah atau sekolah.[17]
Proses pembelajaran di pondok pesantren salafiyah ada yang menggunakan metode yang bersifat tradisional, yaitu metode pembelajaran yang di selenggarakan menurut kebiasaan yang telah lama dilaksanakan pada pesantren atau dapat juga disebut sebagai metode pembelajan asli (original) pondok pesantren. Disamping itu ada pula yang menggunakan metode pembelajaran modern (tajdid). Metode pembelajaran modern merupakan metode pembelajaran hasil pembaharuan kalangan pondok pesantren dengan memasukkan metode yang berkembang pada masyarakat modern, walaupun tidak selalu diikuti dengan menerapkan sistem modern, yaitu sistem sekolah atau madrasah.[18]
Berikut ini beberapa metode pembelajaran tradisional yang menjadi ciri utama proses pembelajarn di pondok pesantren salafiyah[19] :
  1. Metode Sorogan
Sorogan, berasal dari kata sorog (bahasa jawa), yang berarti menyodorkan, sebab setiap santri menyodorkan kitabnya di hadapan kiai atau pembantunya (badal. Asisten kiai). Sistem sorogan ini termasuk belajar secara individual, dimana seorang seorang santri berhadapan langsung dengan seorang guru, dan terjadi interaksi saling mengenal diantara keduanya. Sistem sorogan ini terbukti sangat efektif sebagai taraf pertama bagi seorang murid yang bercita-cita menjadi seorang alim.
Pembelajaran dengan sistem sorogan biasanya diselenggarakan pada ruang tertentu. Ada tempat duduk kiai atau ustadz, di dapannya ada meja pendek untuk meletakkan kitab bagi santri yang menghadap. Santri-santri lain, baik yang mengaji kitab yang sama ataupun berbeda duduk agak jauh sambil mendengarkan apa yang diajarkan oleh kiai atau ustadz sekaligus mempersiapkan diri menunggu giliran di panggil.
Metode pembelajaran ini termasuk metode pembelajaran yang sangat bermakna karena santri akan merasakan hubungan yang khusus ketika berlangsung kegiatan pembacaan kitab di hadapan kiai. Mereka tidak hanya senantiasa dapat dibimbing dan diarahkan cara membacanya tetapi dapat dievaluasi perkembangan kemampuannya.
Metode sorogan adalah bagian wajib dalam pesantren. Metode ini telah menjadi bagian pembelajaran pesantren dari berabad-abad tahun yang lalu. Seiring perkembangan dalam dunia pendidikan seperti munculnya sekolah-sekolah binaan pemerintah bahkan sampai sekolah yang bertaraf nasional dan internasional, pesantren tetap konsisten dengan metode khasnya itu. Memang seakan terjadi stagnasi disini. Dimana lembaga-lembaga pendidikan modern banyak bermunculan dengan menggembar-gemborkan standar dan mutu kualitas masing-masing, justru pesantren tetap istiqomah dengan metode klasikalnya.
  1. b. Metode Wetonan/Bandongan
Wetonan, istilah weton ini berasal dari kata wektu (bahasa jawa) yang berarti waktu, sebab pengajian tersebut diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum dan sesudah melakukan shalat fardu. Metode weton ini merupakan metode kuliah, dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kiai yang menerangkan pelajaran secarah kuliah, santri menyimak kitab masing-masing dan membuat catatan padanya. Istilah wetonan ini di jawa barat di sebut dengan bandongan.
Sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode ini, biasanya dilakukan langkah-langkah berikut ini:
  1. Kiai menciptakan komunikasi yang baik dengan para santri.
  2. Memperhatikan situasi dan kondisi serta sikap para santri apakah sudah siap untuk belajar atau belum?
  3. Seorang kiai atau ustadz dapat memulai kegiatan pembelajaran dengan membaca teks arab gundul kata demi kata disertai dengan terjemahannya dan pembacaan tanda-tanda khusus (seperti “utawi”, “iku”, “sopo” dan sebagainya) pada topik/pasal tertentu disertai pula dengan penjelasan dan keterangan-keterangan.
  4. Pada pembelajaran tingkat tinggi, kiai atau ustadz kadang-kadang tidak langsung membaca dan menerjemahkan, tetapi menunjuk secara bergiliran kepada para santrinya untuk membaca dan menerjemahkan sekaligus menerangkan suatu teks tertentu.
  5. Setelah menyelesaikan pembacaan pada batasan tertentu, kiai atau ustadz memberu kesempatan kepada para santri untuk menanyakan hal-hal yang belum jelas. Jawaban dilakukan langsung oleh kiai atau ustadz atau memberi kesempatan terlebih dahulu pada para santri yang lain.
  6. Sebagai penutup kiai atau ustadz menjelaskan kesimpulan-kesimpulan yang dapat ditarik dari kegiatan pembelajaran yang telah berlangsung.
Untuk mengevaluasi kegiatan pembelajaran diatas, seoorang kiai/ustadz biasa melakukannya melalui dua macam tes. Pertama: pada setiap tatap muka atau pada tatap muka tertentu. Kedua: pada saat telah dikhatamkannya pengkajian terhadap suatu kitab tertentu.
  1. Metode Musyawarah/BahtsulMasa’il
Metode musyawarah atau dalam istilah lain BahtsulMasa’il merupakan metode pembelajaran yang lebih mirip dengan metode diskusi atau seminar. Beberapa orang santri dengan jumlah tertentu membentuk halaqah yang dipimpin langsung oleh kiai atau ustadz, atau mungkin juga santri senior, untuk membahas atau mengkaji suatu persoalan yang yang telah ditentukan sebelumnya.
Untuk melakukan pembelajaran dengan menggunakan metode ini, kiai atau ustadz biasanya mempertimbangkan ketentuan-ketentuan berikut:
  1. Peserta musyawarah adalah para santri yang berada pada tingkat menengah atau tinggi.
  2. Peserta musyawarah tidak memiliki perbedaan kemampuan mencolok. Ini di maksudkan sebagai upaya untuk mengurangi kegagalan musyawarah.
  3. Topik atau persoalan (materi) yang dimusyawarahkan biasanya di tentukan terlebih dahulu oleh kiai atau ustadz pada pertemuan sebelumnya.
  4. Pada beberapa pesantren yang memiliki santri tingkat tinggi, musyawarah dapat dilakukan secara terjadwal sebagai latihan untuk para santri.
  1. d. Metode Pengajian Pasaran
Metode pangajian pasaran adalah kegiatan belajar para santri melalui pnegkajian materi (kitab) tertentu pada seorang kiai/ustadz yang dilakukan oleh sekelompok santri dalam kegiatan yang terus menerus (maraton) selama tenggang waktu tertentu.
Dalam prespektif lebih luas, pengajian pasaran ini dapat dimaknai sebagai proses pembentukan jaringan-jaringan kitab-kitab tertentu diantara pesantren-pesantren yang ada. Mereka yang mengikuti pengajian pasaran di tempat tertentu akan menjadi bagian dari jaringan pengajian pesantren itu. Dalam konteks pesantren hal ini amat penting karena akan memperkuat keabsahan pengajian di pesantren-pesantren para kiai yang telah mengikuti pengajian pasaran itu.
  1. e. Metode Hafalan (muhafadzah)
Metode hapalan metode hapalan adalah kegiatan belajar santri dengan cara menghafal suatu teks tertentu dibawah bimbingan dan pengawasan kiai/ustadz. Para santri diberi tugas untuk menghafal bacaan-bacaan dalam waktu tertentu. Hafalan yang dimiliki santri ini kemudian dihafalkan kepada kiai atau ustadz secara periodik atau insidental tergantung pada kiai atau ustadz yang bersangkutan.
Titik tekan metode ini adalah santri mampu mengucapkan atau melafalkan kalimat-kalimat tertentu secara lancar pada teks. Pengucapan tersebut dapat dilakukan secara perorangan maupun kelompok. Metode ini dapat juga di gunakan dengan metode bendongan atau sorogan.
Untuk mengevaluasi kegiatan belajar dengan metode ini dilakukan dengan dua macam evaluasi. Pertama : dilakukan pada setiap kali tatap muka, yang kedua: pada waktu telah dirampungkan/diselesaikannya seluruh hafalan yang ditugaskan pada santri.

  1. f. Metode Demonstrasi (praktek ibadah)
Metode ini adalah cara pembelajaran yang dilakukan dengan memperagakan (mendemontrasikan) suatu keterampilan dalam hal pelaksanaan ibadah tertentu yang dilakukan secara perorangan maupun kelompok dibawah petunjuk dan bimbingan kiai atau ustadz, dengan contoh kegiatan sebagai berikut :
  1. Para santri mendapat penjelasan/teori tentang tata cara pelaksanaan ibadah yang akan di praktekkan sampai mereka betul-betul memahaminya.
  2. Para santri berdasarkan bimbingan kiai/ustadz mempersiapkan segala peralatan dan perlengkapan yang diperlukan untuk kegiatan praktek.
  3. Setelah menentukan waktu dan tempat para santri berkumpul untuk menerima penjelasan singkat berkenaan dengan urutan kegiatan yang akan dilakukan serta pembagian tugas kepada para santri berkenaan dengan pelaksanaan praktek.
  4. Para santri secara bergiliran/bergantian memperagakan pelaksanaan praktek ibadah tertentu dengan dibimbing dan diarahkan oleh kiai atau ustadz sampai benar-benar sesuai kaifiat (tata cara pelaksanaan ibadah sesungguhnya).
  5. Setelah selesai kegiatan praktek ibadah para santri diberi kesempatan mempertanyakan hal-hal yang dipandang perlu selama berlangsung kegiatan.

TRADISI PESANTREN
  1. A. Hubungan Antarsantri
Dalam tradisi pesantren dikenal adanya dua kelompok santri. Mereka adalah “santri mukim” dan “santri kalong”. Santri mukim adalah para santri yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap di pesantren pada pondok yang disediakan oleh pesantren yang bersangkutan. Sedangkan, santri kalong adalah murid-murid atau para santri yang berasal dari desa-desa di sekeliling pesantren, yang biasanya tidak menetap dalam pesantren. Untuk pelajarannya di pesantren mereka bolak-balik dari rumahnya sendiri. Dinamakan kalong mungkin karena ada kaitannya dengan kebiasaan santri yang nglaju (bolak-balik), dimana mereka di dalam menuntut ilmu pada pesantren berangkatnya menjelang sore, kemudian pulang tengah malam, dan malahan pagi hingga bagaikan kalong. Karena itulah mereka disebut sebagai “santri kalong”.[20]
Ada berbagai alasan mengapa santri menetap di suatu pesantren. Dhofier mengemukakannya dengan tiga alasan, yaitu:
  1. Ia ingin mempelajari kitab-kitab lain yang membahas Islam secara lebih mendalam di bawah bimbingan kyai yang memimpin pesantren
  2. Ia ingin memperoleh pengalaman kehidupan pesantren, baik dalam bidang pengajaran, keorganisasian, maupun hubungan dengan pesantren-pesantren terkenal; dan
  3. Ia ingin memusatkan studinya di pesantren tanpa disibukkan oleh kewajiban sehari-hari di rumah keluarganya[21].
Santri mukim yang paling lama (senior) tinggal di pesantren biasanya merupakan satu kelompok tersendiri yang memegang tanggung jawab mengurusi kepentingan pesantren sehari-hari. Di samping itu, mereka juga memikul tanggung jawab mengajar santri-santri muda tentang kitab-kitab dasar dan menengah. Malah, beberapa diantaranya ada yang dipercaya oleh pemimpin pesantren sebagai penyebar agama (mubaligh). Mereka tentunya adalah tidak hanya memiliki pengetahuan yang dalam mengenai soal agama, tetapi juga ramah dan pandai bicara, sehingga menarik perhatian khalayak ramai.
Hubungan antara santri senior dengan yunior tampaknya bergantung usia antara santri senior dan yunior itu sendiri serta konteks di mana mereka berkomunikasi. Hubungan yang terjadi antara santri senior dan yunior yang usianya jauh lebih tua, polanya lebih mengarah ke hubungan antara orang tua dan anak, hubungan antara ustad/ kyai/ guru dan murid. Santri senior berperan menjadi pengganti orang tua santri yunior karena menurut apa yang dipesankan oleh orang tua para santri ketika menitipkan anaknya.
Sebagaimana layaknya orang tua, dalam berbagai kesempatan santri senior  menasehati kepada santri yunior agar belajar yang tekun, jauhilah segala yang dilarang oleh Allah dan tatatilah serta lakukanlah apa yang menjadi kewajibannya sebagai seorang Islam, dan lain sebagainya termasuk hal-hal yang menyangkut pakaian dan kebersihan kamar yang mereka tempati. Semuanya, tanpa terkecuali , jika melanggar aturan-aturan yang ditetapkan akan dikenai sanksi. Suasana pondok bagaikan sebuah keluarga yag luas. Sementara itu di sisi lain, hubungan antara santri senior dan yunior yang umumnya tidak terpaut jauh coraknya dapat dikatakan sebagai hubungan persaudaraan (kakak dan adik).
Hubungan antar santri yunior lebih mengarah ke corak hubungan pertemuan. Di dalam struktur pesantren kedudukan mereka adalah sama. Oleh karena itu, dalam pergaulan mereka menunjukkan sikap yang bebas tetapi masih dalam batas kewajaran. Dalam satu pondok/ asrama mereka kenal satu sama lain, walaupun tingkat keakraban satu sama lain berbeda karena ini menyangkut kecocokan. Kesamaan daerah asal untuk selamanya membuat mereka bersahabat.[22]
Lepas dari masalah dekat dan tidak begitu dekatnya hubungan antar santri yunior sebagai teman, yang jelas bahwa mereka sama-sama sebagai perantau yang dengan sendirinya jauh dari orang tuanya. Oleh karena itu setiap santri berusaha mengatur uangnya agar setidak-tidaknya uang habis tetapi wesel (kiriman) datang. Namun karena berbagai hal baik dari dirinya maupun dari luar dirinya seperti untuk pengeluaran yang tak terduga ataupun wesel (kiriman) yang terlambat datang, sering terjadi uang habis sementara kiriman yang ditunggu belum datang. Jika hal ini terjadi biasanya yang mempunyai persediaan uang yang cukup akan meminjaminya. Masalah utang dengan sesama santri tampaknya memang bukan hal yang baru. Bahkan, masalah pinjam meminjam pakaian adalah biasa, walaupun adakalanya menjengkelkan.
Sementara itu hubungan antara santri mukim dengan santri kalong pada umumnya hanya terbatas pada teman sepengajian. Seperti halnya antar santri mukim, antara santri mukim dan santri kalong juga tidak lepas dari persaingan, terutama dalam menuntut ilmu agama, walaupun pada akhirnya tempatnya santri mukim lebih serius dibanding santri kalong yang umumnya hanya sekedar tidak buta sama sekali mengenai agama.
  1. B. Hubungan antara Kyai dan Santri
Kyai adalah elemen yang paling esensial dari suatu pesantren. Sehubungan dengan ini sudah sewajarnya jika pertumbuhan suatu pesantren semata-mata bergantung kepada kemampuan pribadi kyainya.[23]
Kebanyakan kyai beranggapan bahwa suatu pesantren dapat diibaratkan sebagai kerajaan kecil di mana kyai merupakan sumber mutlak dari kekuasaan dan kewenangan (power and authority) dalam kehidupan dan lingkungan pesantren. Tidak seorang pun santri atau orang lain yang dapat melawan kekuasaan kyai (dalam lingkungan pesantrennya) kecuali kyai lain yang lebih besar pengaruhnya. Para santri selalu mengharap dan berpikir bahwa kyai yang dianutnya merupakan orang yang percaya penuh kepada dirinya sendiri (self confident), baik dalam soal-soal pengetahuan Islam maupun dalam bidang kekuasaan dan manajemen pesantren.
Meskipun kebanyakan kyai tinggal di daerah pedesaan, mereka merupakan bagian kelompok elite dalam struktur sosial, politik dan ekonomi masyarakat Jawa. Kebanyakan mereka memiliki sawah yang cukup namun tidak perlu mengerjakan sendiri. Mereka bukan petani tetapi pemimpin dan pengajar yang memiliki kedudukan tinggi di masayarakatnya. Profesi ini pada gilirannya membuahkan pengaruh yang melampaui batas-batas desa bahkan kabupaten di mana pesantren mereka berada.
Kiai dengan kelebihannya, terutama pengetahuannya tentang Islam, seringkali dilihat sebagai orang yang senantiasa dapat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam, dan karenanya mereka dianggap memiliki kedudukan yang terjangkau, terutama oleh kebanyakan orang awam. Dalam beberapa hal mereka menunjukkan kekuasaannya dengan bentuk-bentuk pakaian yang merupakan simbol kealiman yang berupa kopiah dan sorban.
Hubungan pemimpin pesantren dengan para santrinya tampaknya tidak hanya terbatas pada hubungan antara guru dan murid belaka. Tetapi lebih dari itu yaitu hubungan timbal balik di mana santri menganggap kyainya sebagai bapaknya sendiri, sementara itu kyai menganggap santrinya sebagai titipan Tuhan yang senantiasa harus dilindungi (hubungan antara orang tua dan anak).
Peranan kiai sebagai guru tentunya sebagai tempat bertanya. Lalu, peranannya sebagai orang tua, kyai merupakan tempat di mana santri mengadu, terutama jika santri mempunyai masalah yang tidak dapat dipecahkan sendiri. Kedudukan kiai sebagai orang tua yang dianggap dapat memecahkan masalah secara bijak tampaknya tidak hanya menyangkut masalah santri sebagai individu, tetapi juga masalah yang terjadi antarsantri (senior dan yunior).
Kelangsungan hidup suatu pesantren sangat tergantung kepada daya tarik kyai. Jika pewaris pesantren menguasai sepenuhnya baik pengetahuan keagamaan, wibawa, keterampilan mengajar dan kekayaan lainnya yang diperlukan, maka umur pesantren akan lebih lama bertahan. Sebaliknya pesantren akan mundur dan mungkin hilang jika pewaris atau keturunan kiai yang mewarisinya tidak memenuhi persyaratan. Jadi seorang figur pesantren memang sangat menentukan dan benar-benar diperlukan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar